ACEH BUMI SERAMBI MEKAH


"ACEH BUMI SERAMBI MEKKAH"

ASMAceh sebagai sebuah kerajaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara pada masa dahulu telah ditabalkan sebagai daerah Serambi Makkah. Penyebutan Serambi Mekkah untuk Aceh bukan merupakan sebuah peristiwa, akan tetapi merupakan sebuah ungkapan apresiasinya masyarakat muslim, — setidak-tidaknya masyarakat muslim Asia Tenggara — terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai agama yang suci. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah bahwa masyarakat Aceh telah lama memeluk Islam yaitu sekitar tahun 800 Masehi. Sejak itu mereka telah menjadikan Islam sebagai barometer
dalam meniti kehidupan. Apabila persoalan yang timbul dalam perjalanan kehidupan, mereka lebih senang merujuk pada ajaran Islam untuk mencari solusinya. Bahkan dapat dikatakan Islam menjadi rujukan utama bagi masyarakat Aceh dalam menyelesaikan segala permasalahan baik persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan juga sosial keagamaan. Realitas itulah para penganut Islam di kawasan lain memahami bahwa agama Islam memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Dari pengalaman sejarah itulah kemudian Islam telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat
Aceh. Setiap sisi kehidupan Aceh identik dengan Islam. Adat, budaya sampai ke kehidupan sehari-hari tidak jauh dari pengaruh Islam. Sejak mulai diperkenalkan di Aceh melalui pedagang-pedagang yang kadang-kadang sekaligus sebagai ulama, baik dari Arab langsung atau wilayah lain seperti India, Islam telah memberi pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat Aceh. Sifat masyarakat Aceh yang rentan akan pengaruh dan perubahan budaya menjadikan masyarakat Aceh lebih terbuka terhadap pengaruh budaya luar sehingga terjadi penggabungan antara budaya lokal dan non lokal, dan ketika Islam masuk ke Aceh dengan budaya yang lebih modern, dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh, sehingga sampai sekarangpun dapat kita lihat dari adat dan budaya masyarakat Aceh sangat kental warna Islamnya.
Aceh, dahulunya adalah sebuah kerajaan, bahkan termasuk salah satu kerajaan besar di dunia. Karena letakknya yang strategis dan selalu dilewati dan disinggahi oleh pedagang-pedagang asing, telah menjadikan kerajaan Aceh termasuk kerajaan yang makmur di masa itu. Karena kemakmurannya, banyak negara-negara atau kerajaan-kerajaan yang ingin menjajah Aceh, termasuk beberapa Negara Eropa. Negara-negara Eropa ini selain ingin menguasai perekonomian (Gold) kerajaan Aceh, mereka juga ingin menguasai kerajaan Aceh melalui agama (God). Tetapi karena Islam telah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh, mengakibatkan usaha bangsa-bangsa Eropa menaklukkan bangsa Aceh menjadi sebuah peperangan yang panjang dan
melelahkan. Dalam sejarah dikatakan bahwa bangsa Aceh tidak pernah mau tunduk kepada penjajah, mereka terus berjuang mempertahankan kerajaan dan agamanya. Semangat jihad Fisabillillah dikobarkan dalam semangat juang bangsa Aceh. Syahid telah menjadi tujuan para pejuang Aceh, sehingga tak seorangpun mau menyerah kalah pada penjajah. Di kala pemimpin negara tidak mampu melanjutkan perang untuk melawan penjajah, ulama tampil menjadi pemimpin masyarakat Aceh, baik dalam berjuang bersama di medan perang maupun dalam membimbing mereka dalam beribadah.
Ulama adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik dari segi kenegaraan maupun agama dan kehidupan sehari-hari. Di masa kerajaan Aceh, ulama merupakan tokoh sentral yang memegang peranan penting. Ulama sebagai penasehat kerajaan dan ilmuwan yang berperan dalam memajukan kerajaan dan masyarakat Aceh. Pada masa itu ada beberapa ulama besar yang juga memiliki karya besar yang patut membuat kita bangga karena karyanya, seperti syekh Hamzah Fansuri yang memiliki karya-karya besar yang mengagumkan banyak orang, Syekh Syams al-Din Al-Sumatrani yang sempat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda, Syekh Nuruddin Ar-Raniry pernah diangkat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Tsani, dan Syekh Abdul Rauf Al-Singkili sempat menjadi mufti pada masa kerajaan empat orang sulthanah. Selain berperan dari sisi politik dan agama, ulama juga berperan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan masyarakat Aceh. Karya-karya para ulama ini tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat Aceh saja tetapi juga memberi pengaruh bagi masyarakat nusantara khususnya dan Asia tenggara umumnya. Karya-karya mereka mencakup berbagai bidang studi termasuk tauhid, akhlak, tafsir, sejarah, sastra, tasawuf, astronomi, pertanian dan kedokteran.
Selain ulama, ada juga tokoh lain yang berperan dalam dunia politik masyarakat Aceh yaitu Uleebalang. Uleebalang merupakan pemimpin adat yang membantu sultan dalam pemerintahan kerajaan Aceh. Sebelum masa penjajahan Belanda ulama dan uleebalang bekerjasama dalam memajukan kerajaan Aceh. Mereka saling membantu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, saling melengkapi dalam mengayomi masyarakat. Hanya saja politik penjajahan Belanda membuat dua peran penting ini saling menjauh dan bertentangan. Beberapa uleebalang mendukung Belanda dalam usahanya menaklukkan Aceh, sehingga menimbulkan reaksi yang sangat keras dari para ulama. Tetapi semangat juang bangsa Aceh tetap tidak kendur, demi mempertahankan agama dan kerajaannnya, pejuang Aceh tetap tak gentar dalam menghadapi penjajah. Pada masa setelah kemerdekaan, di Aceh masih muncul pemberontakan-pemberontakan. Jika diteliti secara mendalam ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan terhadap janji-janji pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Penyelesaian pemberontakan itu berlarut-larut. Kendatipun pada tahun 1957 telah pernah dibuat perjajian damai dengan janji memberikan hak istimewa kepada Aceh, pada kenyataannya hal itu tidak pernah direalisasikan.
Hal itulah kemudian pembangkangan terhadap pemerintah pusat berlanjut lagi. Pada tahun 2000 ketika dimulai masa reformasi pemerintah pusat mulai merubah kebijakan dengan memberi kesempatan Aceh menerapkan syariat Islam. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu cara mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia masa itu berunding untuk mencari jalan terbaik agar bangsa Aceh tidak selalu berada dalam penderitaan. Suatu takdir dari Allah untuk Aceh datang tahun 2004, tepatnya 26 desember 2004, yaitu bencana alam gempa bumi yang berskala tinggi yang menyebabkan gelombang Tsunami melanda Aceh. Pada dasarnya masyarakat Aceh begitu menderita. Banyak yang menyangka pasti banyak orang yang jatuh gila di Aceh. Tetapi Al-hamdulillah kenyataannya tidak terjadi. Mungkin juga ada tetapi hampir tidak dapat terdeteksi. Pada saat yang sama juga terjadi tsunami di wilayah negara lain seperti Srilangka, Thailand dan India. Menurut sejumlah peneliti begitu banyak orang-orang di India yang bunuh diri, atau setidak-tidaknya jatuh gila. Tetapi itu tidak terjadi di Aceh. Ini karena masyarakat Aceh mampu menerima kenyataan ini sebagai pemberian dari Allah, mungkin sebagai peringatan terhadap umatnya yang lalai, dan boleh jadi sebagai ujian terhadap orang-orang beriman. Karena kekuatan tauhidlah masyarakat Aceh tidak mengambil tindakan-tindakan yang fatal seperti yang terjadi di tempat lain.

Islam bisa dikatakan the way of life-nya masyarakat Aceh. Semangat masyarakat Aceh dalam mempertahankan dan mengembangkan agama Islam sangat tinggi sekali, karena Islam telah menjadi rujukan dalam kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai segi kehidupan. Setiap suatu permasalahan, bangsa Aceh menjadikan Islam sebagai solusi dari permasalahan. Seperti terlihat sejak awal masyarakat Aceh mendirikan kerajaan Islam, mendakwahkannya. Kemudian ketika ada unsur yang mengganggu seperti usaha para penjajah, mereka usir dengan kekuatan iman. Demikian juga ketika pemerintahnya sendiri tidak memberi kesempatan untuk merealisasikan syariat, mereka membangkang. Terakhir ketika musibah yang begitu besar melanda daerahnya mereka tetap menerima dengan penuh keimanan.


No comments:

Powered by Blogger.